Senin, 17 Juni 2013

Pencitraan

Ngunandiko No.49


Pencitraan
(Image building)


Membangun citra atau sering disebut sebagai pencitraan (image building) adalah salah satu sarana seseorang politikus dapat mewujudkan cita-citanya.

Politikus yang sukses adalah politikus yang dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Untuk dapat mewujudkan cita-citanya, maka seorang politikus utama-nya harus memiliki :

  • ambisi dan fokus terhadap apa yang di cita-citakan ;
  • kerja dengan semangat pantang menyerah dan dapat mengontrol emosi ;
  • citra yang baik di mata masyarakat luas.

Dalam kesempatan ini  akan  dicoba membahas dan merenungkan bagaimana para politikus membangun citra (image building). Seperti diketahui membangun citra atau sering disebut sebagai pencitraan (image building) adalah salah satu sarana penunjang seorang politikus mewujudkan cita-citanya.
Sebagai gambaran adalah langkah membangun citra yang dilakukan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan hal yang lebih kurang sama kiranya juga dilakukan oleh tokoh-tokoh lain seperti Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo ;  Presiden Amerika Serikat, Barack Husein Obama ; Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew ; dan tokoh-tokoh lain.


Susilo Bambang Yudhoyono
Kita sering  membaca di surat-surat kabar  bahwa Susilo Bambang Yudhoyono “Presiden Republik Indonesia” dalam berbagai kesempatan telah melakukan pencitraan.  
“Pencitraan”  adalah berasal dari kata  “Citra” yang berarti pancaran atau reproduksi jatidiri atau bentuk orang perorangan, benda atau organisasi (lihat : “Building The Corporate Image” ; Siswanto Sutoyo).
Dalam hal ini citra adalah persepsi masyarakat terhadap jati diri Susilo Bambang Yudhoyono. Sedemikian jauh Susilo Bambang Yudhoyono dapat dianggap sebagai salah seorang tokoh politik yang berhasil.  

“SBY” yang mudah diingat oleh rakyat banyak dan  “Partai Demokrat” yang berwatak demokratis itulah yang menjadi identitas Susilo Bambang Yudhoyono dalam membangun citra.

Citra atau persepsi masyarakat terhadap jatidiri seseorang, menurut sejumlah pakar adalah berdasar atas apa yang mereka ketahui atau apa yang mereka kira tentang pribadi orang tersebut. Citra seorang politikus siapapun orangnya akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadapnya, sehingga citra akan memberi peringkat buruk atau peringkat baik bagi-nya. Dalam suatu perjuangan politik mau atau tidak mau, seorang politikus harus mampu membangun citra yang baik.
Pada periode awal Susilo Bambang Yudhoyono terjun ke dunia politik, ia membiarkan khalayak memanggil dirinya “SBY” suatu singkatan  dari namanya yang sangat mudah diingat oleh rakyat banyak.  Susilo Bambang Yudhoyono berharap rakyat akan memandang-nya sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, bahkan bagian dari rakyat itu sendiri. Sementara itu predikat  perwira tinggi militer pada masa orde-baru yang masih disandang oleh Susilo Bambang Yudhoyono tidak menguntungkan dirinya khususnya pada masa setelah reformasi. Untuk menghapus hal yang tidak menguntungkan itu, maka Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan “Partai Demokrat” suatu partai yang menggambarkan watak demokratis yang jauh dari watak otoritarian seorang militer.
Nama “SBY” yang mudah diingat oleh rakyat banyak dan  “Partai Demokrat” yang berwatak demokratis itulah yang kemudian menjadi identitas Susilo Bambang Yudhoyono. Berbekal identitas tersebut Susilo Bambang Yudhoyono mulai membangun  citra dirinya dalam percaturan politik  di Indonesia. Disamping adanya identitas tersebut, ada faktor yang juga lebih mempermudah Susilo Bambang Yudhoyono masuk ke dunia politik adalah kedudukan-nya sebagai Menteri di bidang politik pada awal masa setelah reformasi. Identitas dan kedudukan-nya sebagai Menteri di bidang politik tersebut kiranya salah satu penyebab  Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh citra yang baik dimata rakyat Indonesia, dan   akhirnya setelah melalui kerja keras  dapat memenangkan Pemilihan Umum dan mencapai kedudukan  tertinggi di Indonesia yaitu Presiden Republik Indonesia.
Seperti diketahui identitas adalah bukan citra, namun identitas adalah modal dan landasan membangun suatu citra. Identitas yang mengena dihati rakyat adalah landasan yang kuat untuk membangun citra baik di mata rakyat, suatu persepsi positip dari rakyat pemilih terhadap jatidiri seseorang. Jika seorang politikus  ingin sukses, maka ia harus memiliki suatu identitas yang mengena dihati rakyat banyak.
Banyak orang beranggapan bahwa  Joko Widodo memiliki identitas sebagai Gubernur yang dekat dengan rakyatnya, melalui “blusukan” ke segenap pelosok Jakarta yang sering dilakukannya ; Barack Husein Obama memiliki identitas sebagai Presiden Amerika Serikat berkulit hitam pertama, melalui perjuangannya membela keberagaman masyarakat multi etnis di Amerika  Serikat, dan Lee Kuan Yew memiliki identitas sebagai Perdana Menteri Singapura yang sangat disegani, melalui ketegasannya menjaga “disiplin & ketertiban” masyarakat di negara kota Singapura.
Tampak bahwa para tokoh tersebut memiliki identitas yang tumbuh dari persepsi orang banyak atas apa yang dimilikinya baik berupa nama panggilan-sikap (informasi), kekuatan-tindakan (energi), ataupun  kekayaan-sumberdaya (materi). Dari berbagai catatan sejarah dan cerita dapat diketahui bahwa sesungguhnya para tokoh pada jaman dahulupun dapat dikatakan menempuh jalan yang sama dalam usahanya memiliki identitas ; misalnya identitas King Arthur (akhir abad ke-5 s/d awal abad ke-6) sebagai raja Inggris  yang perkasa, karena mampu  mencabut   pedang-keramat yang tertanam di sebuah puncak gunung batu; demikian pula identitas raja Suleiman (1494 – 1566) sebagai raja yang membawa kemakmuran Kekaisaran Ottoman, karena mampu memiliki kekayaan yang melimpah ; dan identitas  Panembahan Senopati (1587-1601) yang membawa kejayaan kerajaan Mataram di Jawa, karena perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut selatan.


Sasaran pencitraan dari seorang tokoh adalah masyarakat yang dipandang memiliki peranan penting bagi keberhasilan tokoh tersebut.

Seperti telah dijelaskan dimuka identitas adalah modal dan landasan membangun suatu citra. Oleh karena itu seorang tokoh (politikus, negarawan dll) selain memiliki identitas yang tepat, dalam membangun citra harus memperhatikan masyarakat yang dipandang memiliki peranan penting bagi berhasilnya tokoh tersebut mencapai dan melaksanakan cita-cita-nya. Hal itu dapat dilakukannya melalui langkah-langkah sbb  :
  • Langkah pertama menetapkan bagian masyarakat  yang diharapkan akan mendukung atau memilih-nya (misalnya : kalangan muda atau tua ; rakyat tani atau buruh ; rakyat pedesaan atau kota ; dan lain-lain).
  • Langkah kedua menetapkan orang-orang yang akan membantu dalam usahanya melaksanakan cita-citanya ( misalnya : kalangan tehnokrat ; politisi ; pengusaha ; dan lain-lain )
  • Langkah ketiga memilih kelompok-kelompok masyarakat yang akan menjadi mitra (partner) dalam usahanya melaksanakan cita-citanya         (misalnya : Partai politik ; LSM ; para Ulama ; Pressure Groep ; Media-massa dan lain-lain) .
Dari uraian tersebut diatas sasaran pencitraan dari seorang tokoh adalah masyarakat yang dipandang memiliki peranan penting terhadap keberhasilan tokoh tersebut. Setelah menetapkan sasaran pencitraan, maka secara systematis perlu melakukan :
  • mempopulerkan citra-nya di kalangan sasaran (misalnya : melalui media massa cetak/elektronik ; seminar dan sejenisnya ; iklan dan propaganda ; dan lain-lain.
  • membentuk persepsi baik terhadap citra-nya dikalangan sasaran khusus-nya pemilih (seperti diketahui menang tidaknya seorang tokoh dalam Pemilihan Umum ditentukan oleh pemilih) ; untuk itu pada dasarnya ada dua cara yaitu : (a) berperilaku sejalan dengan citra yang akan dibangun dan (b) melakukan sosialisasi a.l dengan iklan dan propaganda.
  • memelihara persepsi baik dan kepopuleran citra-nya ( dengan cara yang sama seperti diatas).
  • menyempurnakan citra (misalnya : berdasar umpan balik dari kawan, maupun serangan dari lawan).

Usaha mempopulerkan citra, membentuk dan memelihara persepsi baik, serta menyempurnakan citra tersebut pada dasarnya perlu  dilakukan dengan teknik sbb :
  • Fokus                                :    usaha tersebut perlu dilakukan dengan penuh konsentrasi atau fokus.
  • Unik                                  :    usaha tersebut perlu dilakukan dengan cara yang specifik atau unik.                         
  • Appropriate                        :     usaha tersebut perlu dilakukan dengan cara yang memadai, tidak berlebihan dan tidak kurang.
  • Menjemput bola                  :    usaha tersebut perlu dilakukan dengan cara menjemput bola yang artinya pro aktip dengan mendatangi sasaran.   
  • Kontinu                              :    usaha tersebut perlu dilakukan secara terus menerus atau kontinu.    
  • Realistik                             :    usaha tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan situasi dan kondisi  sumberdaya dan dana.

Disamping itu usaha mempopulerkan citra tersebut diatas perlu pula memperhatikan situasi dan kondisi perasaan masyarakat, bahkan seringkali perlu dihentikan atau diubah. Sebagai contoh : (a) Jika situasi dan kondisi sedang berada dalam keadaan perang, maka mempopulerkan suatu citra seorang demokrat  adalah tidak tepat ; (b) Jika situasi dan kondisi sedang ada dalam keadaan tentram dan damai, maka mempopulerkan  suatu citra seorang revolusioner yang ingin suatu perubahan secara cepat adalah tidak tepat ;    (c) Jika situasi dan kondisi  sedang ada dalam keadaan membangun, maka mempopulerkan suatu citra seorang bapak pembangunan adalah tepat ; dan sebagainya. Namun semuanya itu memerlukan seorang ahli psycho massa, agar segala sesuatu dapat berjalan secara efektip dan efisien.

Mao Tse Tung
Ada kalanya citra seorang tokoh menjadi berubah karena sesuatu sebab, dapat karena adanya perubahan persepsi dari sasaran (masyarakat) ; atau dapat pula karena adanya perubahan sasaran (masyarakat). Misalnya pak Harto (Jenderal Suharto) semula dihadapan rakyat Indonesia memiliki citra sebagai tokoh yang lemah lembut (the Smiling General), namun karena reformasi citra pak Harto menjadi menakutkan ; Mao Tse Tung dihadapan rakyat China memiliki citra progresip revolusioner, namun dihadapan rakyat Amerika memiliki citra sebagai seorang diktator yang otoriter.

Sebelum menutup renungan ini ingin disampaikan bahwa :

  • Citra adalah merupakan persepsi masyarakat terhadap jatidiri seseorang ; dapat baik dan dapat buruk.
  • Untuk membangun citra, seseorang perlu memiliki identitas dan menetapkan sasaran terlebih dahulu.
  • Identitas adalah modal dan landasan membangun suatu citra, sebaiknya mudah diingat dan bersifat positip.
  • Sasaran pencitraan dari seseorang adalah bagian masyarakat yang dipandang memiliki peranan penting bagi keberhasilan-nya.
  • Citra selain perlu dibangun (dibentuk), perlu pula dipopulerkan, dan dipelihara ; disamping itu ada kalanya citra menjadi berubah atau perlu diubah karena sesuatu sebab.

Demikianlah renungan dan uraian  singkat tentang pencitraan (image building). Semoga bermanfat !

*
Democracy is still a radical idea in a world where we often confuse images with realities, words with actions (Hillary Clinton)


*