Minggu, 20 Desember 2015

Filsafat (philosophy).

Ngunandiko.96





F I L S A F A T
(PHILOSOPHY)

Pada awal tahun 1990-an, beberapa orang anggota HCRI (Himpunan Cendekiawan Republik Indonesia) sering berkumpul membahas berbagai thema, salah satu di antaranya adalah “Filsafat”.
Pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan kembali thema "Filsafat", yang pada waktu itu telah beberapa kali diperbincangkan.  “Ngunandiko” dalam membahas dan merenungkan kembali thema “Filsafat” ini, karena tidak ada notulen, hanyalah berdasar memori, beberapa catatan yang masih ada, dan buku-buku sebagai referensi.
Pada waktu itu umumnya telah sepakat bahwa filsafat adalah suatu pengamatan secara kritis dan mendalam tentang fenomena alam dan pemikiran manusia yang dituangkan secara teratur dan sistematis. Sehubungan dengan hal itu disadari bahwa filsafat (philosophy), seperti halnya ilmu pengetahuan (science), seni (art), dan agama (religion) adalah merupakan suatu hasil besar dari umat manusia.
Democritus
Disadari pula bahwa thema filsafat adalah sangat kompleks dan   banyak sekali  pendapat yang telah ditulis oleh para ahli tentang hal itu. Filsafat dengan ilmu pengetahuan, seni, dan agama sering tumpang tindih ; tulisan-tulisan para ahli ilmu pengetahuan, para pemimpin agama, dan ahli-ahli seni yang masyhur sering digolongkan pula sebagai filsafat. Begitu banyak tulisan (pustaka) filsafat—ratusan, bahkan ribuan tulisan—sehingga sering kali membingungkan.  
Untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah sangatlah sulit, sehingga perlu ditentukan terlebih dahulu awal dari penjuru  para ahli filsafat tersebut menuangkan pendapat dan pikiran-pikirannya. ;
Seperti diketahui kaum Idealis (dalam arti pandangan filsafatnya) "umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum Materialis (dalam arti pandangan filsafatnya) berpihak pada proletar dan kaum tertindas.
Pertentangan kedua barisan filsafat tersebut kadang-kadang  tersembunyi, tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang. Hal itu sesuai dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya, dan materialis di dalamnya, seperti halnya Spinoza (Baruch Spinoza 1632 – 1677) adalah filosof Belanda,  karyanya tidak sepenuhnya dapat difahami sampai bertahun-tahun setelah kematiannya, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan tersebut semata-mata berdasarkan atas sikap (awal dari penjuru berpikir) yang dituliskan oleh si pemikir (ahli filsafat) dalam suatu persoalan, yakni mana yang pertama (primus) dan mana yang kedua ; pikiran (idea) atau benda (matter).
Jika seseorang mengambil pikiran (idea) lebih dahulu, maka ia adalah pengikut idealism, itulah yang idealis. Sebaliknya jika seseorang  mengambil benda (matter) lebih dahulu, itulah pengikut materialism.
Hidup sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri dan kebaikan buat masyarakat, itu bergantung pada watak masyarakat dan didikan masing-masing orang. Hal itu tidak terkait dengan pengertian idealism dan materialism yang dimaksud diatas.
Tan Malaka mengatakan bahwa Engels (bersama-sama Karl Marx) telah meninggalkan banyak sekali pustaka filsafat.  Marx (Karl Marx 1818 – 1883) dikenal sebagai bapak Dialektis Materialism dan Surplus Value yakni Nilai Ber-Lebih, nilai yang dihasilkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Sementara itu Engels adalah seorang pendiam, selalu berdiri dibelakang kawannya Karl Marx, tetapi selalu setia dan jujur. Engels meneruskan mengarang “Das Kapital”, yang tidak dapat diselesaikan oleh Karl Marx, karena meninggal.
Sebagai co-creator, Engels melanjutkan dan mendalamkan faham Dialektis Materialism dan komunisme dengan bahasa yang terang dan merdu. Engels sendiri menulis beberapa buku yang berhubungan dengan filsafat “Anti Duhring” dan “Ludwig Feuerbach” sejarah dan ekonomi.
Mengenai hasil dari cara Engels membagi-bagi para ahli filsafat dalam dua barisan dapat dikemukakan sbb :

  • Pertama barisan idealis, dimana terdapat para penganjur terkemuka seperti Plato (masa Yunani kuno); David Hume (1711 – 1776); George Berkeley (1685 – 1753) yang berpuncak pada Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831);
  • Kedua barisan materialis, dimana terdapat Heraclitus (536 BC – 475 BC), Democritus (460 BC – 370 BC); Epicurus (341 BC – 270 BC); Denis Diderot (1713 – 1784); dan Alphonse de Lamartine (1790 – 1869) yang berpuncak pada Marx-Engels
  • Disamping itu kedua barisan tersebut, banyak pula ahli filsafat campur aduk scientists dan idealis setengah materialis.
Tan Malaka juga mengatakan bahwa musuh proletar biasa menterjemahkan dan “menyamarkan” materialism sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup yang tak terbatas ; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja, dsb.
Sedangkan idealism itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan berbudaya layaknya seorang suci seperti santri ataupun resi.
Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka—penganut materialism , kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku faham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala kesederhanaan dan seperti suami atau bapak yang  setia.
Dengan memakai pemisahan (membagi-bagi) yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalah yang mudah. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya  perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Misalnya dengan melihat  David Hume sebagai ahli filsafat idealis, maka kita bisa memperoleh gambaran semua ahli filsafat idealis dari Plato.


Cara Engels melihat filsafat idealis yang dianut oleh David Hume tersebut dapat digambarkan sbb :

“If I go into myself”, kalau saya (Hume) memasuki diri saya sendiri, maka saya jumpai “bundles of conceptions”, bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari benda.

Kalau Hume hendak mengetahui apakah umpamanya benda yang bernama buah jeruk, maka yang ia insyaf cuma rasanya yang manis, kulitnya yang licin, beratnya yang 0.5 atau 0.25 kg, warnanya yang kuning atau hijau dan lain-lain.

Menurut Hume rasa manis itu ada di lidah, dalam badan Hume, bukan pada jeruk ; berat ada di tangan Hume, bukan pada jeruk ; warna (kuning atau hijau) ada di mata, bukan pada jeruk ; dan seterusnya. Semuanya rasa, berat dan warna dengan perantaraan saraf (nerve), berjalan ke pusat saraf, ke otak.

Otak mencatat rasa, berat, dan warna tadi menjadi pengertian—conception—seperti manis, berat, dan kuning (hijau) dsbnya. Semua pengertian tersebut ada di “dalam” diri saya (Hume), bukan ada di luar diri saya. Jeruk itu sebagai benda tak ada bagi saya. Yang ada hanya “ide”, pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya.

Otak saya penuh dengan pengertian “bundles of conceptions” kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda tak ada bagi saya. Yang ada hanya ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. “Engkau” kata Hume, hanyalah “ide” buat saya.

Misalnya Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith, dan saya buat Hume adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, Cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada Cuma gambaran dalam otak Smith.

Dengan begitu Hume yang membatalkan benda, dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tidak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari idealism, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.

Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dan menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tetangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu Hume sebetulnya membatalkan filsafat idealism.
Lebih lanjut Tan Malaka mengatakan dengan gaya bahasanya yang khas bahwa sesudah Hume dapat dikatakan filsafat idealism sudah mati. Tetapi sering kali barang yang mati itu menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah, sekarangpun masih ada bentuknya.

Hegel
Kant (Emmanuel Kant 1724 – 1804) ahli filsafat Jerman yang tersohor, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume.

Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin (Vladimir Lenin 1870 – 1924), filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, suatu benda dapat diketahui dengan pancaindera kita, tetapi “Ding an Sich” benda itu sendiri, tidak bisa diketahui
“Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera, apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu” begitulah kaum meterialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Kant tak memihak sepenuhnya pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu tak ada, yang ada hanya gambaran dalam otaknya. Hume mencari rumput untuk bersembunyi dengan memakai “Ding an Sich”, benda itu sendiri.
Jawaban Engels mengenai hal itu, pendek dan jitu. Kata Engels : dari hari ke hari “Ding an Sich” itu, sudah menjadi “Ding an Furuns”. Benda yang sendirinya itu tidak diketahui itu, dari hari ke hari sudah menjadi “benda kita”. Menurut Tan Malaka, jawaban pendek Engels tersebut mesti diterjemahkan sbb:
Misalnya “Air”; pada dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, namun sekarang kita telah mengetahui “zat asalnya” ialah Hidrogen dan Oksigen. Sudah diketahui pula, menurut undang mana Hidrogen dan Oksigen tersebut berpadu, ialah menurut Undang Dalton (John Dalton 1766 – 1844). Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya tiap satu liter. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya dan sebagainya. Apa lagi yang harus juga di-“Ding an Sich”-kan tentang air itu.
Dahulu nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah : air, api, udara, dan tanah. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli (elemen). Yang sudah kita ketahui dapat kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti mikroskop, teleskop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman beratus kali, mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah  ketepatan dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan obat-obatan, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.
Dimana lagi “Ding an Sich” itu tempatnya, pada jaman, di mana alam yang dahulu kala dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrol, dikemudikan dipakai menjadi “Ding fur Uns”, yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada bandingannya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx (walaupun ia sudah Marxis) sesudah meninggalkan Hegel masih dilekati Hegelisme.
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan thesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata memandang. Bagi Hegel “absolute idée” ialah, yang membikin benda “Realitat”. “Die absolute idee macht die Gesichte” absolute idée yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee “deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist” yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah adalah sejarah dunia dan masyarakat dibikin oleh Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada tempat lain Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah “verwieklichung” penjelmaan absolute idée itu. Absolute Idee itu sama dengan Metapysik. Idee sendirinya, idée yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan Metaphysik, yakni gaib di luar ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani. Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini.


Feuerbach
Feuerbach (Ludwig Feuerbach 1804 – 1872) , materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engels. Tetapi setelah Feuerbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negative, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feuerbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang idealism Hegel.
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel (sebagai pelajar, ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagaimana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.
Kata Marx : “Negara adalah satu akuan dan hasil dari perjuangan kelas”. Perjuangan kelas-lah yang menjadi “Motive-Force”, kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah “Absolute idée”, seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal—Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman Kuno—dalam pandangan sekarang.
Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman Feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilded an anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan kelas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan.
Jadi pertentangan itu bukan pertentangan idée saja, seperti menurut faham Hegel tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua kelas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan kelas, ialah kelas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan teknik. Teknik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya menjadi alat adanya perjuangan kelas itu. Semua perkakas dan kelas manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute idée itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan (beredar), bersejarah, menurut undang (hukum) tarik menarik yang didapat oleh Newton (Isaac Newton 1643 – 1727), sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang evolusinya Darwin (Charles Darwin 1809 – 1882), beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua :

  • Dialektika Idealistis ; dan
  • Dialektika Materialistis.
Dialektika Idealistis dipegang oleh kaum yang bermodal (capitalist) dan berkuasa dengan pengikutnya. Dialektika Materialistis dipegang oleh kaum proletar (Dalam artian Karl Marx, proletar adalah masyarakat kelas kedua setelah kelas kapitalis, proletar hidup dari gaji hasil kerjanya) yang revolusioner.
Diantara dua filsafat yang bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx : “Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi alat (perhatikan kata-kata Bisma Yang Agung kepada Karna : “sudah menjadi tradisi anak seorang kusir kereta dilarang memegang panah, hanya putera-putera bangsawan dan brahmana-lah yang boleh” : kisah Baratayudha), sebab bentuk ini menterjermahkan keadaan yang ada”.
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan kelas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu fihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, hal-hal yang bersifat  rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealism atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan kelas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealism berupa “pragmatism” yang dikemukakan oleh John Dewey (1859 – 1952). Filsafat pemikir dari Negara yang mempunyai “the biggest of all”, semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan “objective truth”, hakekat obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa “objective truth”, tadi bergantung pada pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika “the country of the free”, Negara merdeka adalah buat borjuasi Amerika. John Dewey mengambil masyarakat borjuis dan paham borjuis sebagai permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang (Perang Dunia II) ini, kekayaan Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang (sampai sebelum perang Perang Dunia II) buat 11 juta buruh, jadi buat kira-kira 33 juta buruh dengan anak bininya, “objective truth” tadi, tidaklah begitu “objective”, tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914 – 1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealism itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialism, tetapi pada dasarnya terdapat idealism. Lenin dalam bukunya ; “Empiris-Critism” dengan terang dan jitu mengemukakan pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai (seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels) ialah partai ahli filsafat idealis dan partai ahli filsafat materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism Lenin argued that human perceptions correctly and accurately reflect the objective external world., Machinisme Neo Vitalisme dll. Dan memperlihatkan idealism yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanof (Georgi Plechanof 1857 – 1918)—dalam dalam kalangan  Marxisten  di Rusia sendiri sering saya (Tan Malaka) dengar bahwa Plechanof lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin—usahanya dua ahli filsafat Materialisme  ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia “Weltanschauung” (A Weltanschauung is comprehensive conception or theory of the world and place of humanity within it).yang resmi, opisil di Soviet Rusia.
Disebelah Barat Eropa, idealism masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealism-lah yang resmi (setidak-tidaknya sampai abad ke-20). Idealisme Barat mendapat bentuk baru dan pakaian baru ialah anarchism palsu dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anarchisme Bergson bukanlah anarchism beraksi, seperti yang dipeluk oleh anarchis besar Bakunin (Mikhail Bakunin 1814 – 1876). Bergson (Henri Bergson 1859 – 1941), Spengler (Oswald Spengler 1880 – 1936) dan Nietsche (Friedrich Nietsche 1844 – 1900). Nietsche adalah filosof krachtpatser, siapa kuat siapa raja, Ubermensche inilah yang dipeluk oleh Hitler (Adof Hitler 1889 – 1945) dan Nazi—National Socialism, more commonly known as Nazism, is the ideology and practice associated with the 20th century German Nazi Party and Nazi state. Filsafat Facisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile (1875 – 1944).
“Facisme”, kata pemikir ini (Nietsche) adalah “ bukan New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru”. “Manusia” katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam “ewige Bewegung der Selbsterwirklichung”, pergerakan kekal buat perpaduan.
Jika sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat. Ketika partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur, dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, terutama juga “sangsi” sebab Negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijatuhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru, memang tidak kalau dipandang dari kaca-mata idealism. “Aksi baru dan paham baru”  katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku “18th Brumaire of Louise Bonaparte” tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga sangat tertarik oleh Napoleon Besar “ommpya” (ommpya In Scrabble and Words with riends the player who begins first has usually an advantage of around 14 points ) dari Louise Bonaparte sampai ia   mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca  “pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan” menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke Negara Kapilawastu,                 (Kapilavastu  adalah salah satu distrik di Lumbini, Nepal dan juga merupakan sebuah nama kerajaan Shakya dimana Buddha Gautama hidup. Tempat ini juga merupakan tempat tinggal dan taman keluarganya. Tempat ini dianggap diperkirakan berada sekitar 10 kilometer sebelah barat dari tempat kelahirannya, Lumbini. Titik referensi yang kemudian ditandai dengan Pilar Ashoka dan merupakan Situs Warisan Dunia) ke  kaki gunung Himalaya ; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan “kastor-olie” buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan “paduan dengan Tuhan itu” dengan lekas.
Perjuangan kelas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, diperut   seperti, seperti dialektis materialism (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels). Filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Engels.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, dimana yang jadi persoalan adalah “semua ini”. Ahli filsafat bertanya : “semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?. Lama-lama persoalan “semua ini” cerai berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei (Galilio Galilei 1564 – 1642) , Copernicus (Nicolaus Copernicus 1473 – 1543), Newton (Isaac Newton 1642 – 1727), Einstein (Albert Einstein 1879 – 1955) dll mendapat undang (hukum) yang sementara boleh dikatakan sempurna. 
 .Bumi kita ini jatuh ke Ilmu Bumi, Geography, dan Ilmu Tanah. Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang (hukum) pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan perpaduan beberapa zat sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Alam, yang sekarang dan dalam artinya mesti dipelajari sendiri
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu ilmu yang boleh dikatakan muda, dan mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari binatang sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu satu ilmu dengan yang lain ada seluk beluk dan perhubungannya. Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika
Syahdan, maka masing-masing ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industry, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-“specialiceer” lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli tidak mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan : “Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?” Demikianlah kalau kita peramati kemajuan ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478 – 1492 si pencari Hakekat dilekati oleh oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah Nasrani. Sesudah itu pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan “Jasmani dan Rohani”, badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, ilmu jiwa, ilmu yang memeriksa “the working of the mind” kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak manusia dan otak binatang dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James (1898 – 1944) dan Edward Thordike (1874 – 1949) di Amerika, Pavlov (1849 – 1936) di Rusia dan experimentalis lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga  dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. “Ketahuilah dirimu sendiri”. Inilah persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas “the working of the mind”, kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment pengalaman.
Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.
Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarahnya masyarakat.
Marx memandang (sejarahnya masyarakat) dari sudut pertarungan kelas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verscheinden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu !
Sebelum menutup bahasan dan renungan tentang filsafat ini, maka “Ngunandiko” ingin mengemukakan hal-hal sbb :
  • Filsafat (philosophy), seperti halnya ilmu pengetahuan (science), seni (art), dan agama (religion) adalah merupakan suatu hasil besar dari umat manusia.
  • Filsafat adalah pemikiran yang cermat dan konsisten tentang prinsip-prinsip dasar keberadaan alam (beserta isinya) dan pemikiran umat manusia ; orang bisa puas (atau tidak puas) dengan prinsip-prinsip dasar tersebut serta mempercayai kebenarannya tergantung  dari keadaan dan kegunaan baginya. Umat manusia  yang melakukan pemikiran dengan cermat dan konsisten tersebut adalah orang yang berfilsafat;
  • Tan Malaka (1897 – 1949) menggunakan cara yang digunakan oleh Engels dalam membagi para ahli filsafat—sejak jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels—menjadi dua barisan, yaitu : (1).Barisan kesatu adalah barisan dimana terdapat kaum Idealis ;  dan (2).Barisan kedua adalah barisan yang “bertentangan”, yaitu barisan kaum Materialis. Sudah barang tentu disamping itu kedua barisan tersebut, banyak pula ahli filsafat campur aduk scientists dan idealis setengah materialis.
  • Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan tersebut semata-mata berdasarkan atas sikap (awal dari penjuru berpikir) yang dituliskan oleh si pemikir (ahli filsafat) dalam suatu persoalan,  mana yang lebih dahulu (primus) dan mana yang kemudian ; apakah pikiran (idea) atau apakah benda (matter). Jika seseorang mengambil pikiran (idea) lebih dahulu, maka ia adalah pengikut idealism, itulah yang idealis. Sebaliknya jika seseorang  mengambil benda (matter) lebih dahulu, itulah pengikut materialism.
Demikianlah bahasan dan renungan singkat tentang filsafat, semoga bermanfaat.
*

Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu (Karl Marx).

*