Rabu, 09 Agustus 2017

St. Sjahrir

Ngunandiko.132





St Sjahrir, salah satu tokoh yang aktip berjuang di sekitar Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Aguastus 1945. St. Sjahrir dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia, yang tidak  pernah bekerja sama dengan tentara pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Dalam kesempatan ini “Ngunandiko” akan menyajikan tulisan tentang St. Sjahrir,  dikutip dari buku “Ensiklopedi Umum”. Semoga  tulisan singkat ini dapat menjadi bahasan dan renungan kita bersama dalam merayakan  hari Proklamasi  Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang ke-72 tahun 2017.

Sutan Sjahrir


Sjahrir
Syahrir, Sutan, 5 Maret 1909 – April 1966, tokoh politik dan perjuangan kemerdekaan Indonesia ; dilahirkan di Kota Gedang (Bukit Tinggi), Sumatra Barat, sebagai anak seorang Jaksa-Kepala (Hoofdjaksa). Setelah menamatkan pelajaran di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung ia meneruskan pelajaran di negeri Belanda. Sejak masih duduk dibangku sekolah menengah  telah giat mengikuti perjuangan kemerdekaan. Kembali dari negeri Belanda memimpin PNI-Merdeka yang kemudian menjadi PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA, dibawah pimpinan Moh. Hatta. (Ketika ketua PNI, Sukarno ditangkap dan dijatuhi hukuman—April 1931, PNI membubarkan diri, hal yang tidak dibenarkan oleh sebagian anggotanya. Golongan yang menyetujui pembubaran mendirikan Partindo, bagian yang tidak menyetujui menamakan diri PNI-Merdeka yang mendahului PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA tsb). Tahun 1934 Sjahrir (bersama Moh. Hatta) ditangkap (Pebruari 1934) dan dibuang ke Digul, kemudian dipindahkan ke Banda Niera, menjelang pendudukan Jepang (1942 – 1945) bergerak “dibawah tanah” (sepengetahuan dan semufakat dengan pemimpin-pemimpin “diatas tanah”). Di-jaman Indonesia Merdeka duduk dalam pimpinan PARTAI SOSIALIS (bersama Amir Sarifuddin). Dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) Sjahir menjabat ketua Badan Pekerja (16 Oktober 1945); sebulan kemudian (14 Nopember 1945) menjadi Perdana Menteri (merangkap Menteri Dalam Negeri dan Luar Negeri) kabinet RI yang kedua (kabinet parlementer yang pertama). Kabinet itu juga disebut Kabinet Sjahrir pertama yang berjalan sampai  Maret 1946 untuk diganti oleh Kabinet Sjahrir kedua (2 Maret – 29 Juni 1946  ; 14 Agustus – Oktober 1946), dan Kabinet Sjahrir ketiga (2 Oktober – 26 Juni 1947). Politik berunding Sjahrir (dengan Belanda) mendapat tentangan keras terutama dari golongan PERSATUAN PERJUANGAN dibawah pimpinan Tan Malaka yang menghendaki sikap yang lebih tegas dan keras. Bersama beberapa menteri lainnya diculik waktu berada di Solo (27 Juni 1946) kemudian pada 1 Juli berikutnya atas seruan-radio Presiden Sukarno dikembalikan dengan selamat di Yogya, tetapi disusul dengan percobaan perebutan kekuasaan yang terkenal dengan nama PERISTIWA JULI. Dalam suasana genting demikian, segala kekuasaan buat sementara diletakkan ditangan Presiden. Pada 1 April 1947, Sjahrir berangkat ke New Dehli berhubung dengan berlangsungnya ASIAN RELATION CONFERENCE (yang juga membicarakan situasi Indonesia), dan untuk bertemu dengan PM. India, Jawaharal Nehru.  Bertalian dengan PERSETUJUAN LINGGAJATI Sjahrir dalam pidato radionya 19 Juni 1947 di Jakarta a.l menyebut bahwa kedaulatan negeri Belanda selama masa peralihan diakui , hal yang menyebabkan jatuhnya Kabinet Sjahrir  ketiga (26 Juni 1947). Kabinet  Amir Sjarifuddin menggantikannya. Sjahrir diangkat menjadi Penasehat Presiden (30 Juni 1947) dan meletakkan jabatannya selaku ketua delegasi RI untuk perundingan-perundingan dengan Belanda  (5 Juli 1947). Ketika tentara Belanda melancarkan agresinya yang pertama (Clash I, 21 Juli 1947), Sjahrir selaku Duta keliling RI tengah malam terbang ke luar negeri (Singapura, New Delhi, Lake Succes—Perserikatan Bangsa Bangsa) . Mendapat kesempatan berbicara dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB, 14 Agustus 1947) , mendesak campur tangan Dewan mengenai sengketa RI – Belanda, minta dibentuk badan arbitrasi yang tidak berpihak. Dari PBB Sjahrir terbang ke London (26 September 1947). Sementara itu timbul perpecahan prisipiil dalam Partai Sosialis. Sjahrir memisahkan diri dan mendirikan PARTAI SOSIALIS INDONESIA (PSI).yang diketuainya (12 Pebruari 1948). Golongan Amir Sjarifuddin tetap meneruskan Partai Sosialis yang kemudian berfusi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), akhir Agustus 1948. Sutan Sjahrir memimpin PSI sampai partai tersebut dibubarkan oleh Pemerintah (17 Agustus 1950). Keputusan Presiden RI nomor 201/1960) ; menurut pertimbangannya karena partai itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau lebih jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan partai itu tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinan tersebut. Atas pertimbangan itu PSI dibubarkan untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa. Sutan Sjahrir (bersama sama pemimpin lain ditangkap 15 Januari 1962) Mdan dipenjarakan, dalam waktu mana dia mendapat penyakit tekanan darah tinggi dan brain stroke yang mengakibatkan kelumpuhan dan lidah kelu. Akhirnya Sjahrir diperkenankan berobat di luar negeri            (Mei 1965), tapi penyakitnya tak dapat disembuhkan lagi. Sutan Sjahrir meninggal dunia di rumah sakit di Zurich, Swiss 9 April 1966, dalam kedudukan tahanan politik Negara, yang selama empat tahun lebih masih menunggu pengadilannya. Dalam keadaan ini Sjahrir dengan resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Jenasahnya diterbangkan pulang    ke tanah air dan mendapat pemakaman kenegaraan, dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dengan mendapat perhatian melimpah limpah dari pihak resmi sipil maupun militer. Pandangan politik Sjahrir dapat dikenal antara lain dalam bukunya : “Indonesische Overpeinzingen” oleh (nama samaran) Sjahrazad (nama samaran). Cetakan pertama 1945, cetak ulang ketiga 1950 dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Demikianlah, semoga bermanfaat !
*
Tapi aku sedang menginginkan yang tidak mungkin. Maka, aku akan minta agar keangkuhanku selalu pergi bersama kebijaksanaanku ! Dan jika pada suatu hari nanti kebijaksanaan pun meninggalkan diriku : ya ia memang suka pergi jauh (Nietzche)

*