Blog ini berisikan pandangan tentang masalah-masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial, manajemen, teknologi, dan lain-lain disertai humor tentang hal-hal tersebut. Pandangan tersebut berupa bahasan, renungan dan wacana berdasarkan pendapat ahli serta praktek yang terjadi.
Jumat, 25 Januari 2013
Minggu, 20 Januari 2013
Perbudakan
Ngunandiko.37
Perbudakan 1.
(slavery)
Perbudakan
(slavery) adalah keadaan dimana orang dipaksa untuk patuh kepada tuan-nya,
hal itu sudah berlangsung sejak dahulu
kala. Keadaan tersebut mumgkin terjadi akibat suatu perang, dimana pemenang
perang yang ganas membunuh musuh-musuh yang dikalahkannya dan merampas
perempuan-perempuan mereka. Sedangkan
pemenang perang yang memiliki
rasa belas kasihan menjadikan musuh-musuh yang dikalahkannya sebagai budak (The
New Book of Knowledge, Grolier Incorporated, Connecticut).
Budak siap diangkut |
Pada saat belum ada yang tahu apa yang harus dilakukan terhadap tawanan perang, maka tawanan perang tersebut dibunuh oleh fihak yang menang perang, bahkan pada periode yang lebih awal tawanan perang itu dimakan. Tetapi pada tahap dimana “ekonomi” telah dikenal, maka disadari bahwa dari para tawanan tersebut dapat diperoleh suatu nilai ekonomi antara lain dengan membiarkan para tawanan perang tetap hidup dan berguna sebagai tenaga kerja. Pada saat itu-lah dengan sendirinya “perbudakan” tercipta.
Sesudah itu perbudakan segera menjadi faktor dominan dalam produksi di antara semua masyarakat maju setelah berakhirnya masyarakat tua. Hal itu terus berlangsung dalam waktu yang panjang, bahkan sampai pada waktu ini walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Perbudakan telah tercatat dalam “Kode Hammurabi”, seperti
diketahui Hammurabi adalah raja Babylonia pada periode 1795 –1750 Sebelum
Masehi (BC). Dalam Kode Hammurabi tersebut terdapat pasal-pasal berkaitan
dengan perlakuan terhadap budak antara lain hak memperdagangkan dan memiliki
budak, disamping itu budak juga dapat dibebaskan secara formal karena rasa
kemanusian, adopsi, atau dengan membeli kebebasan mereka sendiri.
Sejarah perbudakan mungkin terdengar asing bagi kebanyakan bangsa Indonesia. Banyak yang berpikir bahwa perbudakan hanya dialami oleh orang hitam dari Afrika, yang dibawa oleh para pedagang budak ke Benua Amerika. Sejarah perbudakan ternyata juga sangat dekat denga sejarah bangsa Indonesia. Pada 1 Juli 1863, Belanda sebagai salah satu pedagang budak terbesar di dunia pada masa itu ; secara resmi menghapuskan perbudakan di semua wilayah jajahannya termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Tanggal 1 Juli 1863 tersebut juga menjadi tonggak sejarah bagi kebebasan para budak Afrika yang dibawa oleh Belanda ke wilayah-wilayah jajahan Belanda.
Seperti diketahui pada masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), berdasarkan
Undang-Undang Batavia tahun 1642 perbudakan
diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia. Perbudakan tersebut sebagian besar terjadi di Jawa, namun budak-budak berasal dari daerah-daerah yang ditaklukkan
oleh Belanda di luar Jawa. Misalnya dari pulau Banda yang ditaklukkan oleh Belanda
pada tahun 1621 ada sebanyak 883 orang dibawa
ke pulau Jawa untuk dijual sebagai budak, namun 176 orang mati dalam
perjalanan.
Sesungguhnya perdagangan
budak di dunia telah berlangsung sejak
ribuan tahun sebelumnya, terutama di zaman Romawi. Budak yang diperdagangkan di
pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira, dan bahkan bangsawan dari
negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak.
Selama Perang Salib (berlangsung lk 2 abad lamanya), ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, lalu dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak pada waktu itu. Namun dari abad 15 sampai akhir abad 19, banyak negara atau wilayah di Asia, Afrika dan Amerika menjadi koloni negara Eropa (British Empire & Co). Hal itu menyebabkan perdagangan budak menjadi marak kembali terutama di benua Amerika, di mana para kolonialis memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan.
Patut dicatat bahwa di Amerika Serikat yang dikenal sebagai sokoguru demokrasi, perbudakan secara resmi dihapus tahun 1865. Sementara itu warga-nya yang berkulit hitam masih harus menunggu lk satu abad agar memperoleh hak memilih dan dipilih, namun akhirnya kini di abad ke-21 ada warganya yang berkulit hitam menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.(Presiden Obama)
Selama Perang Salib (berlangsung lk 2 abad lamanya), ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, lalu dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak pada waktu itu. Namun dari abad 15 sampai akhir abad 19, banyak negara atau wilayah di Asia, Afrika dan Amerika menjadi koloni negara Eropa (British Empire & Co). Hal itu menyebabkan perdagangan budak menjadi marak kembali terutama di benua Amerika, di mana para kolonialis memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan.
Patut dicatat bahwa di Amerika Serikat yang dikenal sebagai sokoguru demokrasi, perbudakan secara resmi dihapus tahun 1865. Sementara itu warga-nya yang berkulit hitam masih harus menunggu lk satu abad agar memperoleh hak memilih dan dipilih, namun akhirnya kini di abad ke-21 ada warganya yang berkulit hitam menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.(Presiden Obama)
Belanda memiliki 2 pusat perdagangan
budak di Afrika. yaitu di St. George
d’Elmina (Gold Coast sekarang Ghana) dan di Pulau Goree (Senegal). Melalui
kedua pusat perdagangan tersebut Belanda membawa budak-budak yang dibeli dari
orang-orang Arab (pedagang budak) ke berbagai tempat yang memerlukannya.
Pedagang-pedagang budak tersebut bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik
warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika dengan tak pandang bulu (laki-laki,
perempuan atau anak-anak) kemudian dijualnya sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 3
abad, berjuta-juta orang Afrika diculik dan dijual sebagai budak. Budak-budak
tersebut dibawa dengan kapal ke negara-negara pembeli, mereka disekap secara
tidak manusiawi – termasuk anak-anak dan perempuan – berjejal-jejal didalam
tong atau ruang-ruang sempit tanpa ada sinar matahari, udara, dan air bersih
yang cukup. Lebih dari 20% budak-budak
tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh
diri, bahkan budak-budak yang dibawa ke benua Amerika mencapai 40-50% mati
dalam perjalanan.
Belanda selain me-rekrut orang-orang Eropa dan pribumi sebagai serdadu di dinas ketentaraan Hindia Belanda, Belanda juga me-rekrut sejumlah mantan budak yang dibelinya dari Afrika. Serdadu atau tentara yang berasal dari mantan budak tersebut terkenal dengan sebutan"Belanda Hitam (Zwarte Nederlander)".
Belanda selain me-rekrut orang-orang Eropa dan pribumi sebagai serdadu di dinas ketentaraan Hindia Belanda, Belanda juga me-rekrut sejumlah mantan budak yang dibelinya dari Afrika. Serdadu atau tentara yang berasal dari mantan budak tersebut terkenal dengan sebutan"Belanda Hitam (Zwarte Nederlander)".
Belanda membeli budak di Gold
Coast (Ghana) Afrika Barat sejak tahun 1830, dan melalui St George d’Elmina
mereka dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk mendapatkan budak, Belanda membayar kepada seorang Raja di
Afrika sebesar f 100 per orang. Sampai tahun 1872 jumlah budak-budak tersebut mencapai
3.000 orang, dikontrak untuk selama 12 tahun atau lebih. Berdasarkan peraturan
kewarganegaraan Belanda (Nationaliteitsregelingen) budak yang menjadi tentara masuk kategori berkebangsaan Belanda, mereka
disebut sebagai Belanda Hitam (zwarte Nederlander).
Belanda Hitam tersebut tidak
mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, sehingga menjadi tentara yang tangguh
dan berharga bagi Belanda. Mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda,
namun mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100 dari gaji yang
diterimanya, walaupun orang-orang itu telah berjasa bagi Belanda dalam
mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda. Belanda tidak mau rugi!
Sebagian besar dari Belanda Hitam
(zwarte Nederlander) tersebut ditempatkan di daerah Purworejo, pada tahun 1950 tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika
; yang kemudian dibawa oleh pemerintah Belanda ke negeri Belanda dalam rangka
“repatriasi.”
Dapat
dikemukakan bahwa pada periode tahun 1679 s/d tahun 1699, lebih dari 50% (lima
puluh persen) penduduk Batavia adalah budak.
Budak di Jawa |
Seperti diketahui perang koalisi
di Eropa berpengaruh terhadap masalah perbudakan di Hindia-Belanda. Ketika
Inggris menaklukkan Belanda, maka kekuasaan Belanda di Hindia Belanda beralih ke
tangan Inggris (1811), kemudian Gubernur
Jenderal Raffles (Inggris) melarang perdagangan budak.
Dengan adanya perjanjian
perdamaian di Eropa, maka Belanda menerima kembali India-Belanda dari tangan
Inggris(1816). Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan
kembali perdagangan budak.
Jumlah budak yang dimiliki oleh Belanda
(VOC) di Batavia dan sekitarnya (Jawa) selama periode 1780 – 1844 dapat digambarkan dengan angka-angka sebagai berikut :
Jumlah budak milik
Belanda (VOC) di Batavia
(1780 – 1844)
|
|||
No.
|
Tahun
|
Jumlah (orang)
|
Keterangan
|
01
|
1789
|
36,942
|
|
02
|
1815
|
23,239
|
|
03
|
1828
|
6,170
|
|
04
|
1844
|
1,365
|
|
|
|
|
|
- Sebagai catatan dapat pula dikemukakan disini bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (lihat pula sejarah VOC).
Sementara itu sebelum Belanda
menghapuskan sistem perbudakan di wilayah yang ada dibawah kekuasaannya (1863), ternyata di berbagai penjuru dunia perbudakan
juga telah dihapuskan oleh penguasa wilayah dimana perbudakan tersebut berada.
Hal itu antara lain dapat dilihat dari gambaran sbb :
- Diwilayah-wilayah yang berada dibawah bendera Perancis pada tahun 1794 sistem perbudakan dihapuskan oleh pemerintahan revolusi Perancis, di koloni-koloni penghapusan sistem perbudakan tersebut ditegaskan kembali oleh Napoleon pada tahun 1802. Di wilayah-wilayah sisanya penhapusan secara penuh terjadi pada tahun 1804.
- Pada tahun 1804 Haiti menjadi negara pertama yang bebas dari sistem perbudakan di di wilayah bumi bagian Barat, kemudian diikuti oleh koloni-koloni Spanyol di Dunia Baru (benua Amerika). Hal itu adalah sebagai akibat perang kemerdekaan yang berlangsung pada tahun 1810 dan 1825.
- Dengan disahkannya Great Britain’s Act pada tahun 1833 oleh Kerajaan Britania Raya, maka sistem perbudakan di wilayah Kerajaan Britania Raya (British Empire) ber-akhir.
- Proklamasi Emansipasi oleh Abraham Lincoln (1863) dan kemenangan Utara dalam Perang Saudara membebaskan Amerika Serikat dari sistem perbudakan.
- Emansipasi pada tahun 1888 telah mengakhiri sistem perbudakan di Brasilia.
Perlu dikemukakan bahwa hapusnya
sistem perbudakan sesungguhnya tidak semata-mata karena belas kasihan dari para
penguasa seperti gambaran diatas, para budak sendiri melalui berbagai cara telah
menentang sistem perbudakan tersebut, namun hal itu tidak banyak tercatat secara
menonjol dalam sejarah. Beberapa peristiwa menonjol yang menggambarkan sikap
menentang para budak terhadap sistim perbudakan dapat dilihat dari beberapa
peristiwa sbb :
- Di Amerika pada awal abad ke-19 Masehi ada juataan orang budak, sebagian dari mereka – terutama budak “Pekerja Tangan” yang kehidupannya paling berat dan diperlakukan dengan kejam – sering melakukan protes terhadap kondisinya yang buruk atau melarikan diri. Budak-budak yang melarikan diri tersebut kemudian mendirikan komunitas (free communities), di Yamaika disebut Maroon.
- Budak-budak di Haiti bangkit, mengusir tuan-tuan mereka, dan kemudian diakui sebagai bangsa merdeka (1804),
- Di semenanjung Korea pada masa Dynasty Joseon "Chuno" di abad ke-17 Masehi, para budak berontak menentang perlakuan kejam yang di alaminya,
- Karena memperoleh perlakuan yang kejam, budak-budak Romawi telah berkali-kali memberontak. Salah satu pemberontakan budak yang terbesar terjadi pada tahun 73 AD dipimpin oleh Spartacus dari Thrace.
Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa andil dari para tokoh agama, sastrawan, pemikir, ilmuwan dan masyarakat
luas yang tidak menyetujui perbudakan adalah sangat besar. Hal itu antara lain
tampak dari :
- Serangan terhadap sistem perbudakan dari para pemikir dan sastrawan seperti Montesquieu (1689 – 1755) dan Rousseau (1712 – 1778), serta
- Terbentuknya masyarakat anti perbudakan (antislavery society) di Inggris (1787), di Perancis (1788) dan lain-lain.
Sebelum sistem perbudakan tersebut
dapat dihapuskan, pertarungan antara fihak pro dengan anti perbudakan telah berlangsung
lama dan sengit. Sebagai gambaran berikut ini disampaikan pertarungan
antara pro dan anti perbudakan di Amerika (Amerika Serikat sekarang) dimana
sampai terjadi perang saudara.
Seperti diketahui upaya untuk
menghapus perbudakan di Amerika telah mendapat perlawanan yang sengit dari
mereka yang setuju perbudakan. Kompromi antara
yang pro dan anti perbudakan terpaksa dilakukan seperti “Kompromi Messouri” pada 1829
(lihat : Wikipedia) , namun
tetap saja tidak memuaskan kedua belah fihak.
Pada tahun 1850 ketika ada suatu wilayah yang diperoleh sebagai hasil dari perang
dengan Meksiko (1846-1848) lalu masuk ke United States sebagai negara bagian
California (dan Wilayah New Mexico), maka Henry Clay (1777-1852) seorang
anggota Kongres Kentucky-California mengusulkan :
- Sebagian dari keputusan “Kompromi Messouri” ditunda, perdagangan budak dihapuskan kecuali di District of Columbia,
- Undang-undang (UU) yang mengatur pelarian budak perlu diterapkan dengan sangat ketat, ini berarti Utara harus secara aktif mendukung perburuan budak yang melarikan diri dan mengembalikan budak-budak tersebut ke tuannya.
Disamping itu para `pemilik budak tetap
tidak puas, karena dianggapnya masih memberi terlalu banyak kepada fihak Utara.
Pada saat Kongres membahas adanya keluhan dari wilayah Kansas dan Nebraska terhadap
“Kompromi Messouri”, maka Stephen A Douglas (1813 - 1861) - seorang simpatisan
Selatan dari Ililinois – mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) yang yang memberi keleluasan memilih antara
perbudakan dan kebebasan. Hal itu dapat menghancurkan “Kompromi Missouri”
Perasaan
permusuhan antara yang pro dengan yang anti perbudakan juga terangsang oleh “UU
Fugitive Slave” tahun 1850 dan oleh publikasi buku Harriet Beecher Stowe “Uncle
Tom’s Cabin” pada tahun 1852, karena hal itu konflik terus menyala.
Stephen Douglas |
Perasaan permusuhan antara yang pro dengan yang anti perbudakan juga terangsang oleh “UU Fugitive Slave” (1850) dan oleh publikasi buku Harriet Beecher Stowe “UNCLE TOM'S CABIN” (1852), karena hal itu konflik terus berkobar. Usaha terus-menerus dari masyarakat anti perbudakan (antislavery) untuk meredam konflik ternyata tidak berhasil.
Seperti diketahui sebelum adanya gerakan anti perbudakan (antislavery) di Amerika, sejak tahun 1671 gerakan antislavery telah dimulai di
Inggris. Gerakan tersebut di Inggris dipelopori oleh para Quaker (The Quakers adalah radical Christians, dikenal
dgn hidupnya yg sederhana dan memiliki ethos kerja), Granville Sharp (1735-1813), Thomas Clarkson (1760-1846), dan William
Wilberforce (1750-1853). Gerakan antislavery tersebut serta adanya masyarakat
anti perbudakan (antislavery society) telah mengakibatkan hapusnya perbudakan di Inggris (1833);
yaitu saat dikeluarkannya
Abolition Bill yang dicetuskan oleh Wilberforce untuk menghapuskan perbudakan.
Sementara itu para pemilik budak di bagian Selatan Amerika berpandangan
bahwa upaya dari gerakan yang menginginkan hapusnya perbudakan (antislavery)
yang di pelopori oleh Utara hanyalah melihat sisi negatip dari kepemilikan
budak. Oleh karena itu solusi terbaik bagi Selatan adalah memisahkan diri dari Uni (United States). Namun tidakan tersebut
adalah inkonstitusional dan tidak akan berjalan tanpa menimbulkan perang. Sikap
keras dari SELATAN yang tetap hendak mempertahankan perbudakan mau tidak mau menyebabkan
terjadinya PERANG SIPIL.
Seperti diketahui pada tanggal 1 Januari 1863 Presiden ABRAHAM LINCOLN mengumumkan
PROKLAMASI EMANSIPASI yang berarti membebaskan seluruh wilayah Amerika Serikat
dari sistem perbudakan, hal itu menyebabkan meletusnya Perang Sipil. Ketika
Perang Sipil yang mengerikan itu berakhir (1865), maka perubahan (amandment)
konstitusi ketiga belas ditanda tangani dan secara resmi sistem perbudakan di
Amerika Serikat berakhir.
Namun perbudakan dan perdagangan budak di dunia selama abad 20 tetap ada,
terutama di beberapa bagian dari Afrika,
Arab dan Asia. Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 ada 30 anggota Liga
Bangsa Bangsa (The League of
Nations) meratifikasi konvensi
pelarangan perbudakan dan perdagangan
budak. Hal itu antara lain sebagai akibat tekanan Liga
Bangsa Bangsa. Afghanistan menghapuskan perbudakan pada tahun 1923, Nepal pada
tahun 1925, Transjordan dan Persia (Irak & Iran) pada tahun 1929, Bahrain
pada tahun 1937 dan Ethiopia pada tahun 1942.
Pada tahun 1948 The United
Nations General Assembly atau
Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengadopsi “Universal
Declaration of Human Right” yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan
perdagangan budak dalam segala bentuk. Sejak saat itu telah dilakukan banyak
langkah untuk implementasinya. Pada waktu ini hampir semua semua negara telah menandatangi konvensi yang melarang
adanya perbudakan dan perdagangan budak.
Setelah pelarian
orang-orang Yahudi dari Mesir, mereka (Yahudi)
tetap mempertahankan perbudakan, bahkan perbudakan di antara mereka sendiri. Hal itu diatur oleh
hukum Musa sebagai
bagian dasar dari ekonomi dan
budaya mereka.
Untuk memberi gambaran tentang
perbudakan dan perdagangan budak yang telah berlangsung di dunia sampai dengan
dihapuskanya, maka kiranya ada baiknya jika disini dikemukankan pula secara singkat sejarah berlangsungnya perbudakan seperti
berikut ini
- Perbudakan pada jaman Kuno,
- Perbudakan pada jaman Yunani,
- Perbudakan pada jaman Romawi,
- Perbudakan di Eropa pada abad pertengahan,
- Pbudakan di Kerajaan kapas, dan
- Perbudakan di Dunia Islam.
*
Americans are so enamored of equality that they
would rather be equal in slavery than unequal in freedom. The subjection of
individuals will increase amongst democratic nations, not only in the same
proportion as their equality, but in the same proportion as their
ignorance (ALEXIS DE TOCQUEVILLE),
*
Langganan:
Postingan (Atom)