Ngunandiko.132
St Sjahrir, salah satu tokoh yang
aktip berjuang di sekitar Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Aguastus
1945. St. Sjahrir dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia, yang
tidak pernah bekerja sama dengan tentara
pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Dalam kesempatan ini “Ngunandiko” akan
menyajikan tulisan tentang St. Sjahrir,
dikutip dari buku “Ensiklopedi Umum”. Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi bahasan dan
renungan kita bersama dalam merayakan hari
Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 yang ke-72 tahun 2017.
Sutan Sjahrir
Sjahrir |
Syahrir, Sutan, 5 Maret 1909 – April 1966, tokoh politik
dan perjuangan kemerdekaan Indonesia ; dilahirkan di Kota Gedang (Bukit
Tinggi), Sumatra Barat, sebagai anak seorang Jaksa-Kepala (Hoofdjaksa). Setelah
menamatkan pelajaran di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung ia meneruskan
pelajaran di negeri Belanda. Sejak masih duduk dibangku sekolah menengah telah giat mengikuti perjuangan kemerdekaan.
Kembali dari negeri Belanda memimpin PNI-Merdeka yang kemudian menjadi
PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA, dibawah pimpinan Moh. Hatta. (Ketika ketua PNI,
Sukarno ditangkap dan dijatuhi hukuman—April 1931, PNI membubarkan diri, hal
yang tidak dibenarkan oleh sebagian anggotanya. Golongan yang menyetujui
pembubaran mendirikan Partindo, bagian yang tidak menyetujui menamakan diri
PNI-Merdeka yang mendahului PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA tsb). Tahun 1934
Sjahrir (bersama Moh. Hatta) ditangkap (Pebruari 1934) dan dibuang ke Digul,
kemudian dipindahkan ke Banda Niera, menjelang pendudukan Jepang (1942 – 1945)
bergerak “dibawah tanah” (sepengetahuan dan semufakat dengan pemimpin-pemimpin
“diatas tanah”). Di-jaman Indonesia Merdeka duduk dalam pimpinan PARTAI
SOSIALIS (bersama Amir Sarifuddin). Dalam Komite Nasional Indonesia (KNI)
Sjahir menjabat ketua Badan Pekerja (16 Oktober 1945); sebulan kemudian (14
Nopember 1945) menjadi Perdana Menteri (merangkap Menteri Dalam Negeri dan Luar
Negeri) kabinet RI yang kedua (kabinet parlementer yang pertama). Kabinet itu
juga disebut Kabinet Sjahrir pertama yang berjalan sampai Maret 1946 untuk diganti oleh Kabinet Sjahrir
kedua (2 Maret – 29 Juni 1946 ; 14
Agustus – Oktober 1946), dan Kabinet Sjahrir ketiga (2 Oktober – 26 Juni 1947).
Politik berunding Sjahrir (dengan Belanda) mendapat tentangan keras terutama
dari golongan PERSATUAN PERJUANGAN dibawah pimpinan Tan Malaka yang menghendaki
sikap yang lebih tegas dan keras. Bersama beberapa menteri lainnya diculik
waktu berada di Solo (27 Juni 1946) kemudian pada 1 Juli berikutnya atas
seruan-radio Presiden Sukarno dikembalikan dengan selamat di Yogya, tetapi
disusul dengan percobaan perebutan kekuasaan yang terkenal dengan nama
PERISTIWA JULI. Dalam suasana genting demikian, segala kekuasaan buat sementara
diletakkan ditangan Presiden. Pada 1 April 1947, Sjahrir berangkat ke New Dehli
berhubung dengan berlangsungnya ASIAN RELATION CONFERENCE (yang juga
membicarakan situasi Indonesia), dan untuk bertemu dengan PM. India, Jawaharal
Nehru. Bertalian dengan PERSETUJUAN
LINGGAJATI Sjahrir dalam pidato radionya 19 Juni 1947 di Jakarta a.l menyebut
bahwa kedaulatan negeri Belanda selama masa peralihan diakui , hal yang
menyebabkan jatuhnya Kabinet Sjahrir ketiga
(26 Juni 1947). Kabinet Amir Sjarifuddin
menggantikannya. Sjahrir diangkat menjadi Penasehat Presiden (30 Juni 1947) dan
meletakkan jabatannya selaku ketua delegasi RI untuk perundingan-perundingan
dengan Belanda (5 Juli 1947). Ketika
tentara Belanda melancarkan agresinya yang pertama (Clash I, 21 Juli 1947),
Sjahrir selaku Duta keliling RI tengah malam terbang ke luar negeri (Singapura,
New Delhi, Lake Succes—Perserikatan Bangsa Bangsa) . Mendapat kesempatan
berbicara dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB, 14
Agustus 1947) , mendesak campur tangan Dewan mengenai sengketa RI – Belanda,
minta dibentuk badan arbitrasi yang tidak berpihak. Dari PBB Sjahrir terbang ke
London (26 September 1947). Sementara itu timbul perpecahan prisipiil dalam
Partai Sosialis. Sjahrir memisahkan diri dan mendirikan PARTAI SOSIALIS
INDONESIA (PSI).yang diketuainya (12 Pebruari 1948). Golongan Amir Sjarifuddin
tetap meneruskan Partai Sosialis yang kemudian berfusi dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), akhir Agustus 1948. Sutan Sjahrir memimpin PSI sampai partai
tersebut dibubarkan oleh Pemerintah (17 Agustus 1950). Keputusan Presiden RI
nomor 201/1960) ; menurut pertimbangannya karena partai itu melakukan
pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) atau lebih jelas memberikan bantuan terhadap
pemberontakan, sedangkan partai itu tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota
pimpinan tersebut. Atas pertimbangan itu PSI dibubarkan untuk kepentingan
keselamatan Negara dan Bangsa. Sutan Sjahrir (bersama sama pemimpin lain
ditangkap 15 Januari 1962) Mdan dipenjarakan, dalam waktu mana dia mendapat
penyakit tekanan darah tinggi dan brain
stroke yang mengakibatkan kelumpuhan dan lidah kelu. Akhirnya Sjahrir
diperkenankan berobat di luar negeri
(Mei 1965), tapi penyakitnya tak
dapat disembuhkan lagi. Sutan Sjahrir meninggal dunia di rumah sakit di Zurich,
Swiss 9 April 1966, dalam kedudukan tahanan politik Negara, yang selama empat
tahun lebih masih menunggu pengadilannya. Dalam keadaan ini Sjahrir dengan
resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Jenasahnya diterbangkan pulang ke tanah air dan mendapat pemakaman
kenegaraan, dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dengan mendapat
perhatian melimpah limpah dari pihak resmi sipil maupun militer. Pandangan
politik Sjahrir dapat dikenal antara lain dalam bukunya : “Indonesische Overpeinzingen” oleh (nama samaran) Sjahrazad (nama
samaran). Cetakan pertama 1945, cetak ulang ketiga 1950 dalam bahasa Indonesia
dan Inggris.
Demikianlah, semoga bermanfaat !
*
Tapi aku sedang
menginginkan yang tidak mungkin. Maka, aku akan minta agar keangkuhanku selalu
pergi bersama kebijaksanaanku ! Dan jika pada suatu hari nanti kebijaksanaan
pun meninggalkan diriku : ya ia memang suka pergi jauh (Nietzche)
*