Ngunandiko.96
F I L S A F A T
(PHILOSOPHY)
Pada awal tahun 1990-an,
beberapa orang anggota HCRI (Himpunan Cendekiawan Republik Indonesia) sering
berkumpul membahas berbagai thema, salah satu di antaranya adalah “Filsafat”.
Pada kesempatan ini
“Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan kembali thema "Filsafat", yang pada
waktu itu telah beberapa kali diperbincangkan.
“Ngunandiko” dalam membahas dan merenungkan kembali thema “Filsafat” ini,
karena tidak ada notulen, hanyalah
berdasar memori, beberapa catatan yang masih ada, dan buku-buku sebagai
referensi.
Pada waktu itu umumnya
telah sepakat bahwa filsafat adalah suatu pengamatan secara kritis dan mendalam
tentang fenomena alam dan pemikiran manusia yang dituangkan secara teratur dan
sistematis. Sehubungan dengan hal itu disadari bahwa filsafat (philosophy),
seperti halnya ilmu pengetahuan (science), seni (art), dan agama (religion)
adalah merupakan suatu hasil besar dari umat manusia.
Democritus |
Disadari pula
bahwa thema filsafat adalah sangat kompleks dan
banyak sekali pendapat yang telah ditulis oleh para ahli
tentang hal itu. Filsafat dengan ilmu pengetahuan, seni, dan agama sering
tumpang tindih ; tulisan-tulisan para ahli ilmu pengetahuan, para pemimpin
agama, dan ahli-ahli seni yang masyhur sering digolongkan pula sebagai
filsafat. Begitu banyak tulisan (pustaka) filsafat—ratusan, bahkan ribuan tulisan—sehingga sering kali membingungkan.
Untuk memilih
mana yang benar dan mana yang salah sangatlah sulit, sehingga perlu ditentukan
terlebih dahulu awal dari penjuru para
ahli filsafat tersebut menuangkan pendapat dan pikiran-pikirannya. ;
Seperti diketahui kaum Idealis (dalam arti pandangan filsafatnya) "umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan
kaum Materialis (dalam arti pandangan filsafatnya) berpihak pada proletar dan kaum tertindas.
Pertentangan
kedua barisan filsafat tersebut kadang-kadang
tersembunyi, tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang. Hal itu sesuai
dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik.
Kadang-kadang idealis di luarnya, dan materialis di dalamnya, seperti halnya Spinoza (Baruch Spinoza 1632 – 1677) adalah
filosof Belanda, karyanya tidak
sepenuhnya dapat difahami sampai bertahun-tahun setelah kematiannya, kadang-kadang
materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Idealis dan
materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli
filsafat dalam dua barisan tersebut semata-mata berdasarkan atas sikap (awal
dari penjuru berpikir) yang dituliskan oleh si pemikir (ahli filsafat) dalam suatu
persoalan, yakni mana yang pertama (primus)
dan mana yang kedua ; pikiran (idea) atau benda (matter).
Jika seseorang
mengambil pikiran (idea) lebih dahulu, maka ia adalah pengikut idealism, itulah
yang idealis. Sebaliknya jika seseorang mengambil
benda (matter) lebih dahulu, itulah pengikut materialism.
Hidup sederhana,
atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri dan
kebaikan buat masyarakat, itu bergantung pada watak masyarakat dan didikan
masing-masing orang. Hal itu tidak terkait dengan pengertian idealism dan
materialism yang dimaksud diatas.
Tan Malaka
mengatakan bahwa Engels (bersama-sama Karl Marx) telah meninggalkan banyak
sekali pustaka filsafat. Marx (Karl Marx
1818 – 1883) dikenal sebagai bapak Dialektis Materialism dan Surplus Value
yakni Nilai Ber-Lebih, nilai yang dihasilkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh
kapitalis. Sementara itu Engels adalah seorang pendiam, selalu berdiri
dibelakang kawannya Karl Marx, tetapi selalu setia dan jujur. Engels meneruskan
mengarang “Das Kapital”, yang tidak dapat diselesaikan oleh Karl Marx, karena
meninggal.
Sebagai
co-creator, Engels melanjutkan dan mendalamkan faham Dialektis Materialism dan
komunisme dengan bahasa yang terang dan merdu. Engels sendiri menulis beberapa
buku yang berhubungan dengan filsafat “Anti Duhring” dan “Ludwig Feuerbach”
sejarah dan ekonomi.
Mengenai hasil
dari cara Engels membagi-bagi para ahli filsafat dalam dua barisan dapat
dikemukakan sbb :
- Pertama barisan idealis, dimana terdapat para penganjur terkemuka seperti Plato (masa Yunani kuno); David Hume (1711 – 1776); George Berkeley (1685 – 1753) yang berpuncak pada Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831);
- Kedua barisan materialis, dimana terdapat Heraclitus (536 BC – 475 BC), Democritus (460 BC – 370 BC); Epicurus (341 BC – 270 BC); Denis Diderot (1713 – 1784); dan Alphonse de Lamartine (1790 – 1869) yang berpuncak pada Marx-Engels
- Disamping itu kedua barisan tersebut, banyak pula ahli filsafat campur aduk scientists dan idealis setengah materialis.
Tan Malaka juga
mengatakan bahwa musuh proletar biasa menterjemahkan dan “menyamarkan”
materialism sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup
yang tak terbatas ; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai
sesukanya saja, dsb.
Sedangkan
idealism itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai ilmu berdasarkan
kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan berbudaya
layaknya seorang suci seperti santri ataupun resi.
Dalam keadaan
yang benar, dalam kehidupan mereka—penganut
materialism , kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang
memangku faham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam
kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala kesederhanaan
dan seperti suami atau bapak yang setia.
Dengan memakai
pemisahan (membagi-bagi) yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalah
yang mudah. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui
seluk beluknya perkara yang bersamaan
dan bersangkutan. Misalnya dengan melihat
David Hume sebagai ahli filsafat idealis, maka kita bisa memperoleh gambaran
semua ahli filsafat idealis dari Plato.
“If I go into myself”, kalau saya (Hume) memasuki diri
saya sendiri, maka saya jumpai “bundles of conceptions”, bergulung-gulung
pengertian, bermacam-macam gambaran dari benda.
Kalau Hume
hendak mengetahui apakah umpamanya benda yang bernama buah jeruk, maka yang ia
insyaf cuma rasanya yang manis, kulitnya yang licin, beratnya yang 0.5 atau
0.25 kg, warnanya yang kuning atau hijau dan lain-lain.
Menurut Hume rasa
manis itu ada di lidah, dalam badan Hume, bukan pada jeruk ; berat ada di
tangan Hume, bukan pada jeruk ; warna (kuning atau hijau) ada di mata, bukan
pada jeruk ; dan seterusnya. Semuanya rasa, berat dan warna dengan perantaraan
saraf (nerve), berjalan ke pusat saraf, ke otak.
Otak mencatat
rasa, berat, dan warna tadi menjadi pengertian—conception—seperti manis, berat, dan kuning (hijau) dsbnya. Semua
pengertian tersebut ada di “dalam” diri saya (Hume), bukan ada di luar diri
saya. Jeruk itu sebagai benda tak ada bagi saya. Yang ada hanya “ide”, pikiran,
pengertian, tentang benda itu dalam otak saya.
Otak saya penuh
dengan pengertian “bundles of conceptions” kata Hume. Jeruk sebagai benda,
lembu sebagai benda tak ada bagi saya. Yang ada hanya ide, pikiran, pengertian,
gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. “Engkau” kata Hume, hanyalah
“ide” buat saya.
Misalnya Engkau
buat Hume adalah saya buat tuan Smith, dan saya buat Hume adalah engkau buat
Smith. Jadi engkau cuma ide, Cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran
buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu
gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai
ahli filsafat. Yang ada Cuma gambaran dalam otak Smith.
Dengan begitu
Hume yang membatalkan benda, dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya
sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tidak ada. Beginilah akibatnya
yang konsekwen dari idealism, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan
dirinya sendiri.
Demikianlah David
Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang
pertama, dan menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam
tetangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu Hume sebetulnya
membatalkan filsafat idealism.
Lebih lanjut Tan
Malaka mengatakan dengan gaya bahasanya yang khas bahwa sesudah Hume dapat
dikatakan filsafat idealism sudah mati. Tetapi sering kali barang yang mati itu
menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah,
sekarangpun masih ada bentuknya.
Hegel |
Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin (Vladimir Lenin 1870 – 1924), filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, suatu benda dapat diketahui dengan pancaindera kita, tetapi “Ding an Sich” benda itu sendiri, tidak bisa diketahui
“Kalau sudah kita
ketahui sesuatu barang dengan pancaindera, apa juga lagi yang mesti kita
ketahui tentang barang itu” begitulah kaum meterialis bertanya. Buat kaum
materialis hal itu sudah cukup. Kant tak memihak sepenuhnya pada Hume dan
bilang terus terang, bahwa benda itu tak ada, yang ada hanya gambaran dalam otaknya.
Hume mencari rumput untuk bersembunyi dengan memakai “Ding an Sich”, benda itu
sendiri.
Jawaban Engels
mengenai hal itu, pendek dan jitu. Kata Engels : dari hari ke hari “Ding an
Sich” itu, sudah menjadi “Ding an Furuns”. Benda yang sendirinya itu tidak
diketahui itu, dari hari ke hari sudah menjadi “benda kita”. Menurut Tan
Malaka, jawaban pendek Engels tersebut mesti diterjemahkan sbb:
Misalnya “Air”;
pada dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang
ajaib, namun sekarang kita telah mengetahui “zat asalnya” ialah Hidrogen dan
Oksigen. Sudah diketahui pula, menurut undang mana Hidrogen dan Oksigen
tersebut berpadu, ialah menurut Undang Dalton (John Dalton 1766 – 1844). Apa
rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya tiap satu liter. Apa
gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya dan sebagainya.
Apa lagi yang harus juga di-“Ding an Sich”-kan tentang air itu.
Dahulu nenek
moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah : air, api, udara, dan
tanah. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli (elemen). Yang sudah kita ketahui
dapat kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin,
seperti mikroskop, teleskop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman
beratus kali, mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun
ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah
ketepatan dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui boleh kita pada
satu sama lainnya, kita buat makanan obat-obatan, kita pakai kodratnya buat kehidupan
dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang
belum kita ketahui sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar
pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin
banyak, makin baik.
Dimana lagi “Ding
an Sich” itu tempatnya, pada jaman, di mana alam yang dahulu kala dianggap gaib
itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrol, dikemudikan dipakai menjadi
“Ding fur Uns”, yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih
licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang
tiada bandingannya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx (walaupun ia sudah
Marxis) sesudah meninggalkan Hegel masih dilekati Hegelisme.
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan
thesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata
memandang. Bagi Hegel “absolute idée” ialah, yang membikin benda “Realitat”.
“Die absolute idee macht die Gesichte” absolute idée yang membikin sejarah,
histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah,
katanya, melainkan Absolute Idee “deren nachdrucklichen Ausdruck, die
Philosophie ist” yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel,
sejarah adalah sejarah dunia dan masyarakat dibikin oleh Absolute Idee, dan hal
ini tergambar pada filsafat. Pada tempat lain Hegel mengatakan, bahwa Negara
dan Saat ialah “verwieklichung” penjelmaan absolute idée itu. Absolute Idee itu
sama dengan Metapysik. Idee sendirinya, idée yang tak dibikin, yang tunggal tak
jatuh pada undang sebab akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan,
tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan terkuasa dan sempurna. Absolute
Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama
dengan Metaphysik, yakni gaib di luar ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte
purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu,
kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari
semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari
makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung
seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani. Jiwanya dengan Rohani yang mengisi
Alam ini.
Feuerbach (Ludwig Feuerbach 1804 – 1872) , materialis besar, yang
dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga.
Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engels.
Tetapi setelah Feuerbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup
terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh
terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung
filsafat yang negative, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu.
Feuerbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke
jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran
senjata Dialektika, tetapi membuang idealism Hegel.
Feuerbach |
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel
(sebagai pelajar, ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme),
akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap
berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagaimana mestinya. Bukan
pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran.
Kata Marx :
“Negara adalah satu akuan dan hasil dari perjuangan kelas”. Perjuangan
kelas-lah yang menjadi “Motive-Force”, kodrat pergerakan sejarah masyarakat,
kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah “Absolute idée”, seperti kata
Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal—Zaman Ningrat. Zaman Feodal
itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman Kuno—dalam
pandangan sekarang.
Dialektika, yakni
pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan
tuan. Pada zaman Feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin
gilded an anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan
kaum modal. Pertentangan kelas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah
yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang
lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan
perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar
kemodalan.
Jadi pertentangan
itu bukan pertentangan idée saja, seperti menurut faham Hegel tetapi
pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua kelas besar yang
berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan
kelas, ialah kelas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas
pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan teknik. Teknik yakni
perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki
oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya menjadi alat adanya perjuangan kelas itu.
Semua perkakas dan kelas manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan
sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute idée itu,
sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan
oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi
dan bintang berjalan (beredar), bersejarah, menurut undang (hukum) tarik
menarik yang didapat oleh Newton (Isaac Newton 1643 – 1727), sebagaimana
tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang evolusinya Darwin (Charles
Darwin 1809 – 1882), beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut
undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai
Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya
Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua :
- Dialektika Idealistis ; dan
- Dialektika Materialistis.
Dialektika
Idealistis dipegang oleh kaum yang bermodal (capitalist) dan berkuasa dengan pengikutnya. Dialektika
Materialistis dipegang oleh kaum proletar (Dalam
artian Karl Marx, proletar adalah masyarakat kelas kedua setelah kelas
kapitalis, proletar hidup dari gaji hasil kerjanya) yang revolusioner.
Diantara dua
filsafat yang bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan
buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat
Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik
buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx : “Dalam bentuknya
yang reaksioner, Hegelisme menjadi alat (perhatikan
kata-kata Bisma Yang Agung kepada Karna : “sudah menjadi tradisi anak seorang
kusir kereta dilarang memegang panah, hanya putera-putera bangsawan dan
brahmana-lah yang boleh” : kisah Baratayudha), sebab bentuk ini menterjermahkan keadaan yang ada”.
Idealisme tak
akan mati selama masih ada perjuangan kelas ini, selama ada kaum yang menghisap
dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu fihak, mengemukakan ide,
intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia
memakai kemegahan, hal-hal yang bersifat rohani buat meninabobokan
kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata
burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah
sesuai dengan perjuangan kelas, idealism atau tak berdialektika, membentuk
dirinya supaya cocok dengan keadaan kelas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme
masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealism
berupa “pragmatism” yang dikemukakan oleh John Dewey (1859 – 1952). Filsafat
pemikir dari Negara yang mempunyai “the biggest of all”, semuanya paling
jempol, ini katanya berdasarkan “objective truth”, hakekat obyektif, yang
tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa “objective
truth”, tadi bergantung pada pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi
Amerika “the country of the free”, Negara merdeka adalah buat borjuasi Amerika.
John Dewey mengambil masyarakat borjuis dan paham borjuis sebagai permulaan
berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang
(Perang Dunia II) ini, kekayaan Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi,
sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan
tetap.
Sekarang (sampai sebelum perang Perang Dunia II) buat
11 juta buruh, jadi buat kira-kira 33 juta buruh dengan anak bininya,
“objective truth” tadi, tidaklah begitu “objective”, tidaklah begitu tenang.
Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi,
polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham,
perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika.
Dimana pergerakan
buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914 – 1918, maka
dalam kalangan proletar sendiri idealism itu tiadalah berani keluar terang-terangan.
Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya
berupa materialism, tetapi pada dasarnya terdapat idealism. Lenin dalam bukunya
; “Empiris-Critism” dengan terang dan jitu mengemukakan pemisahan kaum ahli
filsafat atas dua partai (seperti pertama
kali dikemukakan oleh Engels) ialah partai ahli filsafat idealis dan partai
ahli filsafat materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai
oleh Empiris-Critism Lenin argued that human perceptions correctly
and accurately reflect the objective external world., Machinisme Neo
Vitalisme dll. Dan memperlihatkan idealism yang sebetulnya jadi dasar filsafat
mereka.
Di Rusia usahanya
Lenin dan Plechanof (Georgi Plechanof 1857 – 1918)—dalam dalam kalangan
Marxisten di Rusia sendiri sering
saya (Tan Malaka) dengar bahwa Plechanof lebih besar dalam ilmu filsafat dari
pada Lenin—usahanya dua ahli filsafat Materialisme ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat
Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme
ialah Ilmu Pemandangan Dunia “Weltanschauung” (A Weltanschauung is comprehensive conception or theory of the world and
place of humanity within it).yang resmi, opisil di Soviet Rusia.
Disebelah Barat
Eropa, idealism masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealism-lah yang resmi
(setidak-tidaknya sampai abad ke-20).
Idealisme Barat mendapat bentuk baru dan pakaian baru ialah anarchism palsu
dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anarchisme Bergson
bukanlah anarchism beraksi, seperti yang dipeluk oleh anarchis besar Bakunin
(Mikhail Bakunin 1814 – 1876). Bergson (Henri Bergson 1859 – 1941), Spengler (Oswald
Spengler 1880 – 1936) dan Nietsche (Friedrich Nietsche 1844 – 1900). Nietsche
adalah filosof krachtpatser, siapa kuat siapa raja, Ubermensche inilah yang
dipeluk oleh Hitler (Adof Hitler 1889 – 1945) dan Nazi—National Socialism, more commonly known as Nazism, is the ideology and
practice associated with the 20th century German Nazi Party and Nazi
state. Filsafat Facisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile (1875 –
1944).
“Facisme”, kata
pemikir ini (Nietsche) adalah “ bukan New System, tata filsafat yang baru,
melainkan aksi-baru dan paham-baru”. “Manusia” katanya pada hakekatnya
beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam “ewige Bewegung der
Selbsterwirklichung”, pergerakan kekal buat perpaduan.
Jika sedikit kita
selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan
bendera reaksi di Eropa Barat. Ketika partai Bojuis liberal kacau, partai
Sosialis maju-mundur, dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, terutama
juga “sangsi” sebab Negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan
dijatuhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika.
Fasisme kata
Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru, memang tidak kalau dipandang dari
kaca-mata idealism. “Aksi baru dan paham baru”
katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar
dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis
model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku “18th Brumaire of
Louise Bonaparte” tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka
aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua.
Mussolini, bapak fasisme juga sangat tertarik oleh Napoleon Besar “ommpya” (ommpya In Scrabble and
Words with riends the player who begins first has usually an advantage of
around 14 points ) dari Louise Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang
Italia.
Bahwa manusia
dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang,
yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita
baca “pergerakan kekal buat perpaduan
manusia dan Tuhan” menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke Negara
Kapilawastu, (Kapilavastu adalah salah satu distrik di Lumbini, Nepal dan juga merupakan sebuah nama kerajaan Shakya dimana Buddha Gautama hidup. Tempat ini juga merupakan tempat
tinggal dan taman keluarganya. Tempat ini dianggap diperkirakan berada sekitar
10 kilometer sebelah barat dari tempat kelahirannya, Lumbini. Titik referensi yang kemudian ditandai dengan Pilar Ashoka dan merupakan Situs Warisan Dunia) ke kaki gunung
Himalaya ; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh
Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai
tongkat dan “kastor-olie” buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti,
pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap
selama-lamanya buat melakukan “paduan dengan Tuhan itu” dengan lekas.
Perjuangan kelas
tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika
yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah,
diperut seperti, seperti dialektis
materialism (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels). Filsafat
itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee
seperti kata Engels.
Pada permulaan,
filsafat itu timbul pokok, dimana yang jadi persoalan adalah “semua ini”. Ahli
filsafat bertanya : “semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah
artinya?. Lama-lama persoalan “semua ini” cerai berai. Bumi dan langit sudah
jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei (Galilio Galilei 1564 – 1642) ,
Copernicus (Nicolaus Copernicus 1473 – 1543), Newton (Isaac Newton 1642 – 1727),
Einstein (Albert Einstein 1879 – 1955) dll mendapat undang (hukum) yang
sementara boleh dikatakan sempurna.
.Bumi kita ini jatuh ke Ilmu Bumi, Geography,
dan Ilmu Tanah. Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang
(hukum) pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu
Alam. Perkara yang berhubungan dengan perpaduan beberapa zat sehingga
mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya
memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Alam, yang sekarang
dan dalam artinya mesti dipelajari sendiri
Pemeriksaan atas
tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh
pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya
Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu ilmu yang boleh
dikatakan muda, dan mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau
pertumbuhan otak dan Pikiran dari binatang sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu
satu ilmu dengan yang lain ada seluk beluk dan perhubungannya. Ilmu Alam dan
Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula
agriculture, ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia
tadi. Demikianlah pula seorang insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan
Matematika
Syahdan, maka
masing-masing ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan
industry, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa
di-“specialiceer” lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan
begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh
dipakai buat buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu Ilmu
Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata,
kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada ilmu
yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui
perhubungan satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Bahaya itu
kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau
saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat
menggambarkan daya upaya mempersatukan ilmu bermacam-macam itu, jadi buat
memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si
Ahli tidak mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon
saja.
Lupa garis besar,
karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam
inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap
yang diambil oleh ahli filsafat purbakala yang dengan memangku tangan dan
tafakur, bertanyakan : “Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?”
Demikianlah kalau kita peramati kemajuan ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat
pada Zaman Tengah tahun 478 – 1492 si pencari Hakekat dilekati oleh oleh
Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu,
kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God
dan agama ialah Nasrani. Sesudah itu pada zaman borjuis filsafat tadi sudah
susut pada persoalan “Jasmani dan Rohani”, badan dan pikiran. Sudah lama pula
filsafat ini jatuh ke tangan psychology, ilmu jiwa, ilmu yang memeriksa “the
working of the mind” kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si
pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke
laboratorium. Disinilah otak manusia dan otak binatang dipisah, diperiksa,
diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan,
perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa,
diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia.
Experimentalis William James (1898 – 1944) dan Edward Thordike (1874 – 1949) di
Amerika, Pavlov (1849 – 1936) di Rusia dan experimentalis lain, banyak
mengumpulkan pengalaman yang berharga
dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh ilmu
yang muda tetapi sangat menarik hati. “Ketahuilah dirimu sendiri”. Inilah
persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.
Sekarang
persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas “the working of the
mind”, kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan ilmu
lain-lain yang berdasarkan experiment pengalaman.
Filsafat
bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang
berdasarkan experiment.
Engels sudah
mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua
cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah
sejarahnya masyarakat.
Marx memandang
(sejarahnya masyarakat) dari sudut pertarungan kelas, berkata dalam 11 thesis :
Die Phylosophen haben die Welt nur verscheinden interpretiert. Es komt aber
daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi
bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar
(merubah) dunia itu !
Sebelum menutup
bahasan dan renungan tentang filsafat ini, maka “Ngunandiko” ingin mengemukakan
hal-hal sbb :
- Filsafat (philosophy), seperti halnya ilmu pengetahuan (science), seni (art), dan agama (religion) adalah merupakan suatu hasil besar dari umat manusia.
- Filsafat adalah pemikiran yang cermat dan konsisten tentang prinsip-prinsip dasar keberadaan alam (beserta isinya) dan pemikiran umat manusia ; orang bisa puas (atau tidak puas) dengan prinsip-prinsip dasar tersebut serta mempercayai kebenarannya tergantung dari keadaan dan kegunaan baginya. Umat manusia yang melakukan pemikiran dengan cermat dan konsisten tersebut adalah orang yang berfilsafat;
- Tan Malaka (1897 – 1949) menggunakan cara yang digunakan oleh Engels dalam membagi para ahli filsafat—sejak jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels—menjadi dua barisan, yaitu : (1).Barisan kesatu adalah barisan dimana terdapat kaum Idealis ; dan (2).Barisan kedua adalah barisan yang “bertentangan”, yaitu barisan kaum Materialis. Sudah barang tentu disamping itu kedua barisan tersebut, banyak pula ahli filsafat campur aduk scientists dan idealis setengah materialis.
- Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan tersebut semata-mata berdasarkan atas sikap (awal dari penjuru berpikir) yang dituliskan oleh si pemikir (ahli filsafat) dalam suatu persoalan, mana yang lebih dahulu (primus) dan mana yang kemudian ; apakah pikiran (idea) atau apakah benda (matter). Jika seseorang mengambil pikiran (idea) lebih dahulu, maka ia adalah pengikut idealism, itulah yang idealis. Sebaliknya jika seseorang mengambil benda (matter) lebih dahulu, itulah pengikut materialism.
Demikianlah bahasan dan renungan singkat tentang filsafat, semoga bermanfaat.
*
Para
ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang
perlu ialah menukar (merubah) dunia itu (Karl
Marx).
*